Monday, 9 February 2015

Mangrove Penyelamat

Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah terkenal karenan mempunyai daerah rob atau banjir akibat pasang surut air laut yang cukup luas. Banjir rob ini terjadi karena struktur batuan penyusun Semarang relatif muda sehingga mudah mengalami penurunan. Selain rob, hal yang mengganggu lainnya adalah abrasi pantai yang belakangan menjadi semakin kuat.
Dahulu, ada sebuah pulau kecil di pantai utara Semarang bernama Pulau Tirang, namun kini pulau tersebut hanya tinggal gumuk pasir yang muncul ketika air sedang surut. Padahal letak pulau ini tidak jauh dari kawasan wisata Pantai Maron, Semarang. Menghilangnya pulau juga merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan dari abrasi karena ulah manusia. Tidak jauh dari pulau tersebut, dibangun pelabuhan kapal dengan cara reklamasi, hal ini membuat arus gelombang menuju Pulau Tirang semakin besar dan akhirnya menghancurkan pulau tersebut.
Setelah Pulau Tirang, masalah yang sama mulai menggerus Desa Tapak, Kecamatan Tugurejo, Semarang. Desa yang terletak di hilir sungai ini selain tergerus abrasi pantai, juga memiliki lingkungan yang jauh dari layak. Airnya hitam, sarat endapan lumpur dan banyak sampah yang bertebaran. Seringkali mesin perahu milik warga macet karena baling-balinya tersangkut sampah. Dahulu di Desa Tapak banyak terdapat pohon mangrove namun warga dihantui mitos mengenai racun di akar mangrove yaitu, apabila tumbang, racun yangterdapat di akarnya pecah dan meracuni lingkungan sekitar. Akhirnya banyak warga yang membasmi mangrove yang ada di desa mereka. 
Pada tahun 2000-2001, terjadi abrasi besar-besaran di sekitar pemukiman mereka. Abrasi tersebut menghilangkan sejumlah tambak ikan bandeng dan tambak udang yang luasnya berhektar-hektar serta menggeser garis pantai hampir sejauh satu kilometer ke arah daratan. Padahal sebelum adanya abrasi pantai, tambak-tambak tersebut dapat menghasilkan bandeng dan udang dalam jumlah hampir mencapai 6 ton sekali panen, dapat dibayangkan betapa besar kerugian yang mereka alami! Namun ternyata hal tersebut belum juga menyadarkan masyarakat arti penting tanaman mangrove bagi kelangsungan hidup tempat tinggal mereka. 
Degradasi mangrove membuat banyak petani tambak dan nelayan menjadi kelompok yang paling renta dan hal yang paling menyedihkan adalah mereka tidak menyadari hal tersebut dikarenakan kurangnya edukasi. Padahal untuk mencegah abrasi pantai yang berlebihan dapat dilakukan dengan penanaman mangrove atau dengan membangun alat pemecah ombak (namun hal ini tidak dapat dijadikan jaminan jangka panjang). 
Akhirnya pada tahun 2008, komunitas pecinta mangrove asal Undip (KeSEMaT) dan LSM BINTARI mengadakan kerjasama dengan pihak asing untuk merehabilitasi Kawasan Tugurejo, terutama Desa Tapak yang berada di tingkat abrasi tertinggi wilayah Kota Semarang. Identifikasi masalah dilakukan dengan menggandeng praktisi keilmuan dari perguruan lokal dan berusaha memberikan gagasan atas nasib petani tambak dan nelayan Desa Tapak kedepannya. 
Kreasi anak bangsa :)

Mereka juga membangun komunitas-komunitas lokal di dalam masyarakat yang tugasnya melindungi daerah pantai dari serangan abrasi. Di dalam komunitas tersebut, masyarakat diajak bertukar pikiran tentang apa yang harus ditempuh untuk melindungi lingkungan, mereka diajak menjadi pelaku untuk menimbulkan kepedulian terhadap lingkungan tempat tinggal mereka.
Masyarakat Desa Tapak akhirnya memilih untuk menanam mangrove kembali dan memulai target penanaman di sekitar tambak yang masih tersisa, selain itu juga mereka membangun Alat Pemecah Ombak dengan bahan-bahan bekas serta bambu sebagai usaha tambahan untuk mengurangi abrasi di sekitar pantai. 
Semarang juga punya penghijauan kok :D

Ekosistem mangrove memberikan banyak manfaat, baik secara langsung kepada manusia (economic values) maupun yang tidak langsung (non economic values). Manfaat untuk manusia antara lain, dapat dijadikan bahan makanan dan obat-obatan, dijadikan bahan pengawet, serta bahan bangunan. Sementara bagi lingkungan, menumbuhkan pulau baru, mengawali rantai makanan (menjadi rumah bagi banyak hewan), dan menjernihkan air. 
Berwisata di antara mangrove

Selanjutnya komunitas kecil tersebut berhasil mendirikan sentra pembelajaran mangrove dan membuat paket ecotourism yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat Desa Tapak Tugurejo. Paket yang dihargai sekitar 50.000 rupiah ini mengundang wisatawan untuk menanam mangrove, selain itu mereka juga diajak menyusuri kawasan hutan mangrove dan membeli udang maupun rajungan di tambak yang dikelola masyarakat serta paket makan siang. Aksi ini membuat wisatawan secara tidak langsung ikut serta dalam program pelestarian alam. Bersenang-senang menikmati alam tetap jalan, sementra kelestarian alam juga tetap terjaga.
Kegiatan berjalan-jalan sambil melestarikan lingkungan merupakan salah satu wujud untuk mencapai tujuan wisata berkelanjutan. Dewasa ini masyarakat menamakan program ini sebagai voluntourism, dimana ada unsur menjaga dan memberi nilai tambah kepada daerah wisata kunjungan. Tentunya program ini harus dibuat secara menarik, dengan begitu, wisatawan melakukan kegiatan penanaman dengan sukarela. Masalah tidak berhenti sampai disitu, akibat dibukanya kawasan wisata hutan mangrove tersebut, sampah yang dihasilkan oleh wisatawan membuat kawasan pantai Desa Tapak kembali kotor.
Penanaman tepi pantai
Anak SD aja bisa bersih-bersih pantai :p

Sampah yang berserakan tersebut sangat mengganggu pemandangan, pada akhirnya, komunitas masyarakat kembali bersatu padu mengedukasi masyakarat dan membuat peraturan yang lebih ketat bagi wisatawan. Mereka juga membuat kreasi wisata sampah, dimana wisatawan diajak untuk memungut sampah, kemudian hasilnya dapat ditukar dengan souvenir berupa bibit mangrove :)

No comments:

Post a Comment