Wednesday, 9 November 2016

Membangun Kesadaran Masyarakat yang Melek Pariwisata



Kekaayan negeri ini tak kunjung habis bahkan jika dibicarakan 1001 malam. Sebut saja, ribuan garis pantainya yang menarik, reruntuhan budaya yang sarat akan nilai sejarah hingga wilayah pedalaman yang eksotik. Hal tersebut terbukti dengan terus meningkatnya jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia dari tahun ke tahun. Meski negara ini pernah digoncang dengan bom, namun tetap tidak menghalangi minat wisatawan asing terhadap Indonesia.

Keuntungan daya saing Indonesia dalam dunia pariwisata tidak dapat ditutup sebelah mata seperti kekayaan sumber daya alam yang melimpah, letak yang strategis, dan saat ini adalah masa dimana negara Asean mememiliki prospek berkembang yang lebih baik ke depan.

Sesungguhnya pariwisata di Indonesia merupakan sektor industri yang mampu menjadi jembatan berbagai persoalan global seperti budaya dan tradisi, sosial-ekonomi, hingga mampu menciptakan lapangan kerja dari berbagai kalangan masyarakat. Namun, hingga kini sektor pariwisata masih dipandang sebelah mata, padahal kita tidak dapat bergantung pada sektor migas, karena suatu saat sumber daya akan habis dan tak tergantikan. 

Pariwisata haruslah dibangun dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan, sebab dewasa ini pariwisata telah mengalami ekspansi dan diversifikasi serta menjadi salah satu sektor ekonomi yang pertumbuhannya paling cepat. Untuk itu, diperlukan pemetaan yang baik ke depan, dengan cara membangun pariwisata yang berkelanjutan. 

Visi dari sebuah pariwisata dirancang sendiri oleh masyarakat lokal, sehingga mereka memahami bagaimana mengusahakan potensi yang ada untuk diolah menjadi sumber   penghasilan dari keberlanjutan pariwisata daerah mereka sendiri. Diharapkan nantinya masyarakat lokal dapat menjadi pelaku pariwisata bukan sekedar penonton.

Menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pariwisata berkelanjutan memang tidaklah mudah, ada beberapa hal yang menghambat kesadaran masyarakat, antara lain :
Pertama, sikap berlebihan terhadap kehadiran wisatawan asing. Tak jarang masyarakat Indonesia mempunyai tingkat kewaspadaan yang cukup tinggi terhadap wisatawan asing, sehingga membuat para wisatawan merasa kurang nyaman dan menjadikan suasana kurang kondusif bagi dunia pariwisata.
Kedua, masih berjalannya stigma bahwa pariwisata akan merusak moral masyarakat lokal atau parahnya dapat merubah tatanan budaya dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pariwisata dimungkinkan terjadinya akulturasi budaya, namun jika dilihat dari sisi lain, hal tersebut dapat menjadi nilai tambah suatu daerah apabila ia tetap mampu mempertahankan kekenyalan budaya yang dianut. Seperti contohnya, kekenyalan budaya  di Bali, mereka tetap pada budaya dan adatnya walaupun banyak wisatawan asing masuk di sekitar mereka.
Ketiga, pariwisata masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Seperti terbukti di berbagai negara bahwa pariwisata ternyata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila disikapi secara baik.

Selain itu dibutuhkan keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan masyarakat. Masyarakat menaruh harapan perekonomian dari hasil pengolahan wisata, namun mereka harus membentuk destinasi yang berkualitas sesuai apa yang diharapkan wisatawan. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kerjasama yang solid antar penduduk, pemerintah lokal, dan industri pariwisata.

Kerjasama yang solid tersebut juga tidak serta merta terbentuk kecuali adanya campur tangan pemerintah pusat dalam mengedukasi dan membina masyarakat maupun pihak-pihak yang terkait di dalamnya untuk turut serta dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan.

Adanya proses sinergis antara pemerintah pusat, masyarakat dan badan usaha pariwisata, misalnya dengan memberi keyakinan kuat akan kesungguhan pengembangan pariwisata berkelanjutan, maka dengan sendirinya keyakinan masyarakat tumbuh dan berkembang akan pentingnya pariwisata berkelanjutan. Nantinya dari sini akan lahir pula pengembangan kepariwisataan dalam suatu daerah.

No comments:

Post a Comment