Sunday, 1 February 2015

Tangkahan, From Zero To Hero

Pernahkah kalian menyadari bahwa jalan-jalan bukan sekedar hura-hura dan sebuah kegiatan me-refresh-kan otak saja? Kalau belum sadar, mungkin perlu dibuat nafas buatan dulu *eits.. kesenangan *eits.. Dikiranya ada yang pingsan, apa??
Sebenarnya esensi jalan-jalan lebih dari sekedar pelepas penat belaka loh! Kalau saja kita mau membuka mata lebih lebar, menajamkan telinga lebih jauh dan merasa lebih peka terhadap sekitar, pasti banyak manfaat traveling yang bisa diserap.
Saya pernah mengalami hal itu, di beberapa perjalanan terakhir saya. (Duh maapkeun yak, neng akhir-akhir ini serius mulu omongannya, heuheu.. Tapi bukan bawaan umur loh, neng masih belia!) Tapi sekarang saya tidak akan berbagi kisah tentang saya, tapi tentang seorang kawan, sahabat tepatnya, hehe.
Sebut saja ketika dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Semarang, saya mendapat kesempatan berbincang dengan seorang kenalan. Pembicaraan berawal dari rasa penasaran saya pada foto dibukunya. Foto orang duduk di atas gajah yang sedang melintasi sungai. Pembicaraan bergulir pada kisahnya saat sedang liburan singkat di daerah Tangkahan, Sumatera Utara.

Tangkahan merupakan salah satu kecamatan kecil di daerah Langkat, Sumatera Utara (Sumut), dimana letaknya berada di antara perkebunan sawit dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Kawasan ini memang tidak memiliki pamor yang signifikan di kalangan masyarakat Indonesia, namun kawasan ini cukup terkenal dengan surga pembalakan kayu. Ratusan ton batang kayu dapat rebah dari tangan-tangan penebang kayu ilegal ini. 
Mengapa ia tertarik datang kesana? Soalnya dia ingin mengunjungi kawannya, seorang jagawana Tangkahan. Kawannya ini adalah salah satu pemuda penggagas transformasi Hutan Tangkahan, dari surga pembalakan liar menjadi surga wisata hutan berkelanjutan.
Darinya, bergulir cerita awal hutan Tangkahan yang merupakan hutan hujan terbesar di Sumatera Utara beserta suku yang mendiami dengan perekonomian yang jauh dari layak.
Sejak tahun 1980-an, para illegal logger menebang kayu-kayu jenis meranti untuk dikirim kepada cukong kayu di Tanjung Pura, hingga hutan hampir habis dibabat hingga akhirnya terjadi beberapa kasus pembalakan yang terkena jerat hukum, hal tersebut ditandai dengan berkurangnya aktivitas pembalakan.
illegal logging :(
kayu berumur puluhan bahkan mungkin ratusan tahun :(

Muncul inisiatif dibukanya objek wisata yang mengikut sertakan beberapa tokoh setempat. Namun ternyata objek wisata belum dapat diterima baik oleh masyarakat yang sudah menjalani profesi bertahun-tahun sebagai pembalak liar. Pada tahun 1995 mulai adanya persinggungan aktivitas antara pembalak liar dengan arus wisata, sejak itu berita Tangkahan mulai dikenal oleh dunia internasional. Sekitar tahun 2000-an, akhirnya masyarakat mulai mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang mereka peroleh, antara lain:
      1. Timbulnya aksi protes dari warga desa lain yang tertimpa bencana banjir akibat kegiatan                      pembalakan.
       2. Biaya yang cukup besar untuk menyuap aparat keamanan.
       3. Usaha pembalakan liar hanya memperkaya cukong (aparat keamanan) dan pengusaha kayu.
      4. Pembalakan tidak mengubah garis perekonomian mereka, justru menambah daftar panjang                  kekhawatiran tentang nasib anak-cucu.
Didasari pemikiran tersebut, tokoh masyarakat beserta para penggiat wisata merumuskan agenda pemberantasan illegal logging. Sementara para pemuda mulai bergerak untuk merangkul pembalak untuk menjadi bagian dari kegiatan wisata. 
Mereka membangun peluang hidup baru melalui jalur wisata, dengan itu tidak hanya hutan yang mereka lindungi tapi juga nasib anak dan cucu. Namun kegiatan pariwisata ini juga tidak berjalan dengan mulus, karena masalah-masalah baru bermunculan, dari hadirnya preman dan pungli di kawasan wisata, sampah yang mulai bertebaran, hingga perebutan hak pengelolaan kepariwisataan oleh desa sekitar. Karena permasalahan terus terjadi, akhirnya Kepala Balai TNGL bersama beberapa aktivis memberi strategi baru dalam kepengurusan hutan, yaitu dengan bersama-sama membuka jalur ekowisata di Kawasan Tangkahan.
Andjani lagi sun bathing sekalian mandi di bath tub wahahaha

Kenapa harus dengan embel-embel ekowisata? Kaum muda-mudi Tangkahan mulai mulai memiliki pandangan kritis terhadap keberlangsungan hutan, bukan tidak mungkin dengan membangun pariwisata konvensional, hutan di Kawasan Tangkahan akan mengalami degradasi. Akhirnya golongan pemuda dan beberapa tokoh masyarakat mendidirikan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) sebagai organisasi pondasi kepariwisataan. 
Tangkahan kembali menjadi hutan yang asri dengan adanya konservasi hutan. Hal ini juga mendongkrak perekonomian masyarakat setempat, karena selain dari menjadi pengolah kebun sawit dan karet, mereka dapat menarik penghasilan dari wisata tempat tinggal mereka. 
Banyak kegiatan yang disiapkan LPT untuk menunjang ekowisata, antara lain adalah fasilitas trekking hutan, pengamatan burung dan orang utan, tubing (menyusuri air deras sungai dengan ban dalam truk), dan kegiatan alam bebas lainnya. LPT juga menghadirkan unit patrol gajah untuk konservasi hutan yang belakangan juga menjadi daya tarik tersendiri.
Inilah muka Tangkahan yang telah didandani kembali

Pembalakan adalah masa lalu bagi masyarakat Tangkahan, setelah timbulnya kerusakan lingkungan dan bencana banjir di hulu sungai. Akhirnya kesadaran masyarakat akan kelangsungan hidup generasi selanjutnyalah yang menjadi tameng dari kehancuran Kawasan tersebut. Tangkahan seolah menjadi benteng terakhir keberlangsungan hidup sebagian kawasan kecil di Taman Nasional Gunung Leuser yang terancam.
Masyarakat diajak untuk aktif menjadi bagian dari perubahan dengan terlebih dahulu membangun sense of belonging yang tinggi. Mereka tidak dihadirkan untuk menjadi penonton tetapi sebagai pemangku tanggung jawab akan kelestarian lingkungan dan kemakmuran anak-cucu mereka. Sehingga timbul sinergi antara alam dan manusia yang saling mengasihi.

No comments:

Post a Comment